hiruk pikuknya kota. Dua lukisan Tuhan itu tidak pernah membuatku bosan untuk dinikmati. Hingga aku benar-benar sadar aku sudah jatuh cinta pada dua keajaiban yang Tuhan berikan pada seluruh umat manusia di muka bumi ini. Suatu keajaiban yang Tuhan berikan pada umat manusia, yang mampu membuat siapapun yang melihatnya akan menimbulkan senyum tipis membusur di bibirmu, tak ada sedih maupun duka.
Lantas, tidak perlu berpanjang lebar, maka segera aku tanyakan kepada Dio dimana spot yang pas untuk menikmati matahari tenggelam dan matahari terbit di Kota Salatiga ini. Maka Dio pun menyarankanku untuk pergi ke Wisata Goa Rong. Ini baru pertama kali aku mendengar tempat wisata itu. Wisata Goa Rong adalah wisata goa seperti di Kota Pacitan dengan julukan “seribu goa” nya. Tidak banyak yang tahu letak lokasi tempat wisata ini kecuali penduduk asli Salatiga itu sendiri atau Anda searching sendiri di Google. Oke, ini sangat menarik, maka setelah menunggu waktu yang pas maka kami berangkat ke tekape.
Lokasi Goa Rong berada di Desa Delik, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Untuk bisa ke lokasi ini, maka kami harus melawati jalanan menanjak. Lokasi nya berada di atas bukit. Bukit ini memiliki ketinggian 998 meter di atas permukaan laut (dpl). Setelah sampai di puncak bukit maka kami disuguhkan pemandangan yang luar biasa indah. Dari puncak bukit ini, kita bisa menyaksikan lima gunung menjulang, seolah raksasa yang sedang berdiri membisu. Kelima gunung tersebut adalah, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran. Keunggulan lain dari wisata Goa Rong, pengunjung bisa melihat langsung Goa Rong yang terletak di celah sebelah barat. Konon lubang Goa Rong panjangnya tidak terukur. Menurut cerita masyarakat sekitar, Goa Rong adalah tempat bertapanya orang-orang suci zaman dulu. Konon, para petapa ini dengan kebersihan hatinya, bisa memasuki lubang Goa Rong dan keluar di Demak. Wow, percaya tidak percaya, konon. Goa Rong sendiri memang kecil dan kurang menarik, oleh karena itu yang dijual disini bukan Goa Rong-nya tapi View-nya yang berada di puncak bukit.
A good friend told me, “you’re allowed to have problems”. Don’t ignore them, what ever they may be. Fall memories.
Melihat keindahan alam yang baru saja aku saksikan membuat aku menjadi bersemangat untuk semakin mengeksplore Kota Salatiga. Kurang afdol rasanya jika hanya menikmati matahari tenggelam dan melewatkan matahari terbit. Rasanya seperti sayur tanpa garam. Disaat yang bersamaan dan masih belum beranjak pulang dari Goa Rong, aku langsung menanyakan dimana spot yang bagus untuk melihat matahari terbit. Kali ini Dio sedikit mengernyitkan alis nya. Jujur, ternyata selama ini Dio belum pernah menikmati matahari terbit di kota nya sendiri. Dia bingung dan aku pun juga begitu.
Di tengah perjalanan pulang Dio teringat akan sesuatu akan kenangan di masa SMA nya. Kalau dia dulu pernah pergi ke suatu tempat. Tempat itu jauh diatas puncak gunung. Dimana dia dan kawan-kawannya pernah ke puncak itu dan menikmati pemandangan Kota Salatiga dari ketinggian. Tetapi pada saat itu dia tidak sempat untuk menikmati matahari terbit bersama teman-temannya. Maka dia mengajakku untuk pergi ke gunung tersebut hingga puncaknya untuk menikmati matahari terbit.
Gunung itu dinamakan Gunung Telomoyo. Gunung yang terletak di wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini memiliki ketinggian 1.894 m dpl. Dengan persiapan yang minim hanya membawa jaket dan kamera digital, maka kami pun bersiap untuk menuju gunung tersebut.
PUKUL 3 PAGI kami pun bertolak. Perjalanan gelap malam dan udara pagi yang menusuk tulang menemani kami di jalan. Jalanan sepi dan terkadang berseliweran penduduk desa dengan motor butut dan bronjongnya membawa hasil panen sayur untuk di jual di pasar tradisional. Sesampainya di kaki gunung disitulah perjalanan kami dimulai.
Untuk bisa menuju puncak Gunung Telomoyo kita bisa mengendarai kendaraan bermotor atau berjalan kaki. Akses jalan yang tidak mendukung membuat kami berjalan mengendarai motor dengan sangat berhati-hati, mengingat tidak ada sistem penerangan dan rambu-rambu keselamatan yang memadahi di sepanjang jalan menuju puncak gunung. Kadang suasana mencekam datang menghantui kami, suara motor kami yang berisik memecahkan kesunyian di gunung ini. Mungkin dewi-dewi yang bersemayam di gunung ini pun kaget melihat dua bocah lelaki ini masuk ke dalam area kekuasaannya. “ngapain dua anak ingusan ini masuk ke tempat tinggalku”, mungkin begitu gumamnya. Sebelumnya kami memang sudah minta ijin dahulu untuk masuk ke daerah ini dengan membaca doa.
Setelah selama kurang lebih 45 menit perjalanan, akhirnya kami sampai di puncak Gunung Telomoyo. Di puncaknya terdapat stasiun penerus gelombang radio, kalau kata kerennya sih ini adalah “microwave”. Beberapa tower menjulang tinggi di tempat ini, dan semuanya masih aktif berfungsi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan disini. Seperti daerah yang terasingkan, tidak terurus, dan tidak terawat.
Menunggu matahari terbit di ketinggian 1.894 m dpl dengan udara yang dinginnya menusuk tulang dan dengan jaket seadanya bukan perkara mudah. Kami kedinginan. Dan yang paling parah kami tidak membawa bekal apapun, bahkan sebotol minum pun tidak ada. Dengan akal seadanya kami bermaksud menghangatkan diri agar tidak kedinginan konyol. Untungnya aku membawa korek api, lantas dengan alat seadanya kami pun membakar jari-jari kami sendiri. Jari-jari kami sudah “hampir” mati rasa. Amatir.
ALAM YANG MENDENGARKAN. Perlahan namun pasti, sayup-sayup warna merah bercampur jingga mulai menyeruak dari garis horison di ufuk timur, namun langit masih gelap bertaburan bintang dan bulan sabit yang setia menyinari gelapnya malam. Suara-suara alam mulai bermunculan seperti beberapa burung yang bernyanyi menyambut pagi, serangga seperti jangkrik dan hewan malam lainnya. Ini merupakan sensasi dan pengalaman yang sangat berbeda, sebelumnya aku tidak pernah bisa menikmati alam yang seperti ini, pasti selalu ramai dengan wisatawan lain, tetapi saat ini semua nampak berbeda. Yang ada hanya kami dan alam. Kami mendengarkan alam yang seakan memberitahu kepada kita sebuah kehidupan bahwa mereka ada, bahwa mereka hidup di sekitar kita, bahwa mereka butuh kita untuk menjaganya. Kami mendengarkan alam kala itu.
Di saat kami sedang menikmatinya, tiba-tiba mereka semua diam, membisu, tak ada satu suara pun yang terdengar. Sunyi. Senyap. Kalian tahu kawan, setelah semua berdiam selama kurang lebih satu menit, maka ada suara merdu yang terdengar oleh kita saat itu. Suara adzan subuh yang berkumandang. Tidak hanya satu namun saling bersahutan antara masjid satu dengan yang lainnya. Saling bersahutan memanggil umat muslim untuk beribadah di rumahNya. Bahkan ada yang memukul bedug dan kenthongan untuk membangunkan penduduk. Selama 4 menit kedepan aku tak pernah merasa sedamai ini. Perasaan tenang dan damai yang muncul ketika mendengar adzan yang berkumandang. Lalu senyum ini membuncah seperti bulan sabit di atas kami. Kami memejamkan mata, meniru alam yang mendengarkan dan menghormati indahnya suara adzan subuh di ketinggian.
Bahkan alam pun tahu bagaimana mereka menghormati adzan dengan cara mereka sendiri, dengan berhenti beraktivitas sesaat untuk menghormatiNya. Apakah kalian juga begitu ketika mendengar suara adzan?
Dio sedang menunaikan ibadah shalat subuh
PEMANDANGAN sungguh menakjubkan. Di bawah, gemerlap lampu rumah penduduk Kota Salatiga. Di atas bertaburan bintang dan rembulan yang cantik. Di depan kami, warna jingga bergradasi dengan warna ungu di atasnya, matahari sebentar lagi menampakkan dirinya. Aku berharap ini tidak berlalu dengan cepat dan dapat menikmatinya lebih lama lagi, namun alam berkata lain, tepat pukul 5.29 pagi, matahari terbit dari ufuk timur. Kami berdua pun takjub dengan pemandangan yang ada. Bahkan Dio sendiri pun benar-benar takjub karena baru kali ini dia bisa menikmati matahari terbit dan melihat secara langsung betapa bulatnya matahari dan warna keemasan matahari saat terbit.
Setelah matahari bersinar terang, aku baru sadar bahwa tempat kami berdiri adalah tempat lepas landas gantole dan paralayang. Ternyata tempat ini merupakan tempat yang sering dipakai para penggemar olahraga gantole dan paralayang apabila ada kejuaran. Bagiku, apapun tempatnya, bagaimanapun kondisinya, kami tetap selalu bisa menikmati pemandangan yang ada dengan cara kami sendiri. Tempat ini merupakan sejarah bagi kami bahwa kami mendapatkan sesuatu pengalaman dan pelajaran yang benar-benar diluar dugaan kami.
Pada perjalanan yang kita jejaki, ada sebagian dari diri yang kita titipkan pada tempat yang asing, untuk nanti kita temui pada waktu yang lain.
KAWAN BARU. Tak hanya pengalaman baru, kami juga bertemu dengan kawan baru, yang dengan secara kebetulan mereka juga sedang menuju ke puncak Gunung Telomoyo. Mereka adalah Pak Fandi dan Pak Luki. Mereka datang jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk jalan-jalan dan sekedar hunting foto. Mereka adalah bapak-bapak tangguh. Kudengar mereka bercerita betapa susahnya untuk mencapai puncak gunung ini dengan menggunakan motor maticnya. Mereka sempat terjatuh dua kali dari motornya karena memang motor yang tak sesuai dengan jalan yang rusak justru akan membahayakan pengendaranya sendiri. Gara-gara itu mereka jadi terlambat untuk melihat matahari terbit.
Kami sempat mendadak menjadi anak kampung. Anak kampung yang baru mengenal apa itu yang namanya teknologi. Peralatan kamera yang dibawa adalah kamera mahal seharga sepeda motor sport. Dengan polos nya kami terkejut dan melongo. Baru kali ini kami melihat dan bahkan bisa memegang kamera mahal itu. Kesempatan ini aku gunakan untuk mencoba seperti apa sih kamera mahal itu. Akhirnya aku meminjam dan mencobanya untuk mengambil beberapa gambar dengan kamera tersebut dan hasilnya? Sama saja. Tak ada bedanya dengan kamera yang aku pakai. Mungkin karena aku masih belum paham bagaimana menggunakan kamera mahal tersebut secara maksimal. Yah, namanya juga anak kampung.
Dengan segala kerendahan hati kami berpisah. Masing-masing meneruskan perjalanannya. Pengalaman yang berharga ini tak akan lekang oleh waktu dan akan terus terekam dalam memori ingatan kami. Tempat ini pun masih memberikan pemandangan yang menakjubkan ketika kami hendak meninggalkannya. Di ketinggian ini, tempat ini masih menjadi saksi bisu bahwa Tuhan telah menunjukkan kebesaranNya melalui alam yang bersahaja. Dengan kebisuannya dan angin yang semilir diatas bukit, mereka seperti menyaksikan kami dan memberikan salam perpisahan kepada kami. Terima kasih.
Tenang saja kawan –Alam. Kami akan jaga alam ini dengan segala keikhlasan dan kemampuan kami. Tetaplah seperti ini, tetaplah menjadi surga di muka bumi yang luas ini.